MANTUQ DAN MAFHUM

MANTUQ DAN MAFHUM

PENGERTIAN MANTUQ DAN MAFHUM

Mantuq adalah sesuatu (hukum) yang ditunjukkan oleh suatu lafadz dalam tempat pengucapan (tersurat). Jadi mantuq adalah pengertian yang ditunjukkan oleh lafadz di tempat pembicaraan.[1]

Sedangkan mafhum adalah sesuatu yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pengucapan (tersirat). Jadi mafhum ialah pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafadz tidak dalam tempat pembicaraan, tetapi dari pemahaman yang terdapat pada ucapan tersebut.[2] Seperti firman Allah SWT;

فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلاَ تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلاً كَرِيمًا (الإسراء:23)

"Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan jangan kamu membentak mereka dan ucapkanla hkepada merekaperkataan yang mulia". (Q.S Al-Isra’ ayat 23)

Dalam ayat tersebut terdapat pengertian mantuq dan mafhum. Pengertian mantuq yang tersurat dalam ayat tersebut adalah, diharamkanya berkata-kata yang tidak baik kepada orang tua (mendesah, membentak, dan mencaci maki). Sedangkan pengertian mafhum yang tersirat adalah tidak diperbolehkan (haram) memukul dan menyiksa orang tua.

PEMBAGIAN MANTUQ DAN MAFHUM

A. MANTUQ

Dalam hasanah ilmu ushul fiqh mantuq terbagi menjadi dua bagian yaitu:

  1. Nash; yaitu suatu perkataan (lafadz) yang jelas pengertianya dan tidak mungkin di ta’wilkan atau diarahkan ke dalam pengertian lain. Seperti contoh dalam firman Allah SWT;

وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا. (البقرة:175)

Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. (Q.S Al-Baqarah:175)

Kata al-bai' (jual beli) atau al-riba adalah suatu lafadz yang jelas pengertianya yang mana untuk memahami kata tersebut tidak membutuhkan ta'wil (asumsi).

  1. Dhahir, yatiu suatu perkataan (lafadz) yang jelas pengertianya, namun masih menimbulkan asumsi makna (pengertian) lain yang derajatnya di bawah makna aslinya (majaz). Seperti firman Allah SWT

أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء. ( النساء:43)

"Atau menyentuh perempuan". (An-Nisa':43)

Lafadz "al-lams" dalam ayat tersebut mempunyai dua pengertian. Secara dhahir (haqiqi) lafadz "al-lams" mempunyai arti "menyentuh" dengan tangan. Jadi hukum menyentuh perempuan dapat membatalkan wudlu merupakan proses dari dhahir sebuah dalil. Namun dalam sisi yang lain lafadz "al-lams" apa bila dilihat dari majaznya mempunyai arti "jima". Artinya, berdasarkan ayat tersebut yang membatalkan wudlu bukan menyentuh perempuan akan tetapi men-jima' perempuan yang diambil dari pengertian secara majaz.[3]

Seperti contoh lain dikatakan; "Saya melihat harimau". Secara dhahir (haqiqi), kata harimau mempunyai arti "hewan buas yang suka memangsa". Namun kata harimau juga mempunyai arti majaz yaitu "seorang pemberani".[4]

B. MAFHUM

Mafhum dibedakan menjadi dua bagian, yaitu:

1. Mafhum Muwafaqah, yaitu apabila hukum yang timbulkan sama dengan hukum yang difahamkan oleh bunyi lafadz. Seperti contoh hukum haramnya memukul orang tua sama dengan haramnya membentak orang tua (Q.S. Al-Isra’ ayat 23). Yang mana hukum haram "memukul" merupakan mafhum dari dalil haramnya "membentak".

Mafhum Muwafaqah dibagi menjadi dua bagian:

a). Fahwal Khitab

Yaitu apabila hukum yang dipahamkan lebih utama (berat) daripada yang diucapkan. Seperti "memukul" orang tua haram hukumnya karena merupakan hukum mafhum dari haramnya "membentak" orang tua. Bahkan "memukul" dapat dikatakan lebih tidak diharamkan karena tidak hanya dapat menimbulkan sakit hati, namun lebih dari itu juga dapat menimbulkan luka fisik.[5]

b). Lahnal Khitab

Yaitu apabila hukum yang dipahamkan sama derajatnya daripada dengan yang diucapkan. Seperti contoh "membakar" harta anak yatim hukumnya haram karena merupakan mafhum dari memakan harta anak yatim dengan dhalim, sebagaimana firman Allah SWT:

إِنَّ الَّذِينَ يَأْكُلُونَ أَمْوَالَ الْيَتَامَى ظُلْمًا إِنَّمَا يَأْكُلُونَ فِي بُطُونِهِمْ نَارًا وَسَيَصْلَوْنَ سَعِيرًا [النساء: 10]

"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, Sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)". (Q.S. An-Nisa: 10)

Secara tekstual (mantuq) dikatakan bahwa memakan harta anak yatim dengan dzalim hukumnya haram. Kemudian juga muncul hukum haram "membakar" harta anak yatim berdasarkan teori mafhum. Antara "memakan" yang dijelaskan secara mantuq derajatnya sama dengan "membakar" yang dihasilkan dari kefahaman, yaitu sama-sama merusak harta anak yatim.[6]

2. Mafhum Mukhalafah, yaitu pengertian hukum yang dipahami berbeda daripada ucapan (mantuq), baik dalam istbat (menetapkan) maupun nafi (mentiadakan). Seperti firman Allah SWT:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ. (الجمعة:9)

"Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli". (Al-Jum'ah: 9)

Ayat di atas secara tekstual (mantuq) menerangkan haramnya transaksi jual beli pada saat sudah dikumandangkan shalat jum'at. Dari ayat tersebut pula dapat diambil kefahaman bahwa sebelum dikumandangkan shalat jum'at atau sesudah dilakukanya shalat jum'ah diperbolehkan berjualan. Kefahaman hukum tersebut disebut mafhum mukhalafah. Karena hukum mantuq berbeda denan hukum mafhum.

SYARAT-SAYRAT MAFHUM MUKHALAFAH

Karena mafhum mukhalafah adalah proses hukum yang bertentangan dengan hukum mantuq, maka diperlukan beberapa syarat agar hukum yang ditelorkan menjadi shahih. Untuk syahnya mafhum mukhalafah diperlukan empat syarat:

1. Mafhum Mukhalafah harus tidak berlawanan dengan dalil yang lebih kuat, baik dalil mantuq maupun mafhum muwafaqah. Contoh yang berlawanan dengan dalil mantuq:

وَلاَ تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ خَشْيَةَ إِمْلاق [الإسراء :31]

“Jangan kamu bunuh anak-anakmu karena takut kemiskin­an”. (Q.S. Isra’ ayat 31).

Ayat tersebut di atas secara tekstual menerangkan haramnya membunuh anak karena "takut muskin". Mafhum mukhalafah-nya berarti "membunuh anak tidak karena takut miskin". Dalam hal ini mengambil hukum dari mafhum mukhalafah tidak diperbolehkan sebab bertentangan dengan dalil mantuq yang lain yaitu;

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلاَ بِالْحَقِّ. [الإسراء :33]

“Jangan kamu membunuh manusia yang dilarang Allah kecuali dengan kebenaran". (QS. Isra’:33)”

Berdasarkan dalil mantuq di atas, baik takut miskin (mantuq) maupun tidak takut miskin (mafhum) tetap tidak boleh dijadikan alasan membunuh anak.

Contoh mafhum mukhalafah yang berlawanan dengan mafhum muwafaqah:

فَلاَ تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ. (الإسراء:23)

"Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”.(Q.S Al-Isra’ ayat 23)

Berdasarkan ayat di atas secara mantuq disebutkan tidak boleh berkata-kata kasar terhadap orang tua. Apa bila difahami dengan mafhum mukhalafah berarti selain berkata-kata kasar seperti memukul diperbolehkan. Pemahaman terbalik (mafhum mukhalafah) seperti ini tidak dibenarkan karena bertentangan mafhum muwafaqahnya, yaitu "tidak boleh memukul".

2. Yang disebutkan (manthuq) bukan suatu hal yang biasanya terjadi. Seperti contoh;

وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ. (النساء. 23)

"Dan anak-anak (tiri) istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri". (QS. An-Nisa':23)

Secara tersurat (mantuq) ayat di atas menerangkan bahwa anak tiri yang ikut dipelihara bersama tidak boleh dinikah. Itu berarti dapat difahami secara berbeda (mukhalafah) bahwa "anak tiri yang tidak dipelihara bersama boleh dinikahi". Pemahaman berbeda seperti ini tidak diperbolehkan sebab Allah mengatakan "yang kamu pelihara" hanya berlaku pada umumnya dimana anak tiri biasanya dipelihara ayah tiri karena mengikuti ibunya.[7]

3. Lafadz yang disebutkan (manthuq) bukan dimaksudkan untuk menguatkan sesuatu keadaan. Seperti contoh;

قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ. (رواه البحارى)

“Seorang muslim ialah orang yang mana muslim lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya". (HR. Bukhari)

Secara tersurat bahwa seorang muslim tidak diperbolehkan menyakiti "muslim" lainnya baik dengan lisan maupun tanganya. Dari mantuq tersebut tidak diperbolehkan mengambil hukum berdasarkan kefahaman berbeda (mafhum mukhalafah) yaitu "diperbolehkan mengganggu orang bukan muslim". Sebab perkataan "muslimun" hanya sebagai penguat bahwa sesama orang muslim seharusnya lebih manjalin kerukunan.

4. Dalil yang di sebutkan harus berdiri sendiri tidak boleh mengikuti lain. Seperti contoh firman Allah dalam Al-Baqarah;187:

“Janganlah kamu campuri mereka (isteri-isterimu) padahal kamu sedang beritikaf di mesjid”. (Q.S Al-Baqarah ayat 187)

Dalil di atas tidak boleh dipahamkan, kalau tidak beritikaf dimasjid, boleh mencampuri istrinya. Sebab dia dalam keadaan berpuasa, baik dalam keadaan iktikaf atau tidak tetap tidak diperbolehkan mencampuri istrinya.

Wallahu a’lam bi ash-shawaf



[1] Tajudien Abdul Wahhab As-Subkhi, Matn Jam'il jawami'. Juz: I, Hal: 235.

[2]. Ibit; 240.

[3]. Ahmad Ibnu Rusydi, Bidayah al-Mujtahid. 37. Maktabah As-Syuruq Ad-Daulah. 2004

[4]. Tajudien Abdul Wahhab As-Subkhi, Matn Jam'il jawami'. Juz: I, Hal: 236.

[5]. Tajudien Abdul Wahhab As-Subkhi, Matn Jam'il jawami'. Juz: I, Hal: 241.

[6]. Ibit.

[7]. Tajudien Abdul Wahhab As-Subkhi, Matn Jam'il jawami'. Juz: I, Hal: 246.

Read Users' Comments (1)komentar

Status Anak Zina

MEMBUKA TABIR HADITS

"TIDAK MASUK SURGA ANAK HASIL ZINA"

Oleh: Fajar Abdul Bashir

Pendahuluan

Untuk mengawali pembahasan ini, terlebih dahulu akan kita tampilkan sebuah hadits yang jika hanya difahami secara tekstual tanpa melihat dalil lain, akan membuat bulu kuduk berdiri. Hadits itu adalah;

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ, قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:"لا يَدْخُلُ وَلَدُ الزِّنَا الْجَنَّةَ، وَلا شَيْءٌ مِنْ نَسْلِهِ إِلَى سَبْعَةِ آبَاءٍ".(رواه الطبرانى)

Diceritakan dari Abu Hurairah r.a Rasulullah SAW bersabda: "Tidak masuk surga anak hasil zina dan tidak satupun dari keturunan mereka sampai tujuh turunan". HR. Tabrany)

عَن ْعَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَو بن العاص, قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:"لا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ وَلَدُ زَنِيَةٍ". (رواه ابن حبان فى صحيحه)

Diceritakan dari Abdullah bin Umar, Rasulullah SAW bersabda: "Tidak masuk surga yaitu anak dari wanita pezina (". (HR. Ibnu Hibban)

Terlepas dari perbedaan pendapat tentang eksistensi posisi hadits tersebut, jika difahami sekilas dua hadits di atas memang menakutkan dan terkesan diskriminasi. Padahal dalam kehidupan ini tidak sedikit manusia yang melakukan zina dan menghasilkan keturunan. Bahkan pada awal masa Rasulullah SAW pun kasus perzinaan masih tetap marak dikarenakan kebudayaan jahiliyyah sulit sekali dihilangkan. Dari kasus perzinaan tersebut tentunya tidak sedikit yang menghasilkan keturunan. Dari sinilah Rasulullah SAW harus mengeluarkan peringatan keras dan mengancam para pelaku zina dengan dikeluarkan hadits tersebut. Peringatan keras tersebut tidak hanya mengancam pelaku pezina, tetapi juga berpotensi memberi dampak negatife bagi anak dan keturunannya.

Namun belakangan hadits tersebut mendapat tanggapan serius dari beberapa sahabat Nabi dan para Ulama. Pasalnya hadits yang mengancam keturunan pelaku zina tersebut seolah-olah bertentangan dengan dalil-dalil lain, baik dari al-Qur'an maupun al-Hadits. Selain itu juga seolah-olah bertentangan dengan nilai Islam yang rahmatan lil alamien. Untuk itulah, kiranya perlu sekali kita mengetahui lebih dalam sejauh mana arahan pegertian hadits di atas dan seperti apa dilalah hukumnya. Di dalam Al-Qur'an Allah berfirman:

وَلاَ تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَإِنْ تَدْعُ مُثْقَلَةٌ إِلَى حِمْلِهَا لاَ يُحْمَلْ مِنْهُ شَيْءٌ وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبَى إِنَّمَا تُنْذِرُ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ وَأَقَامُوا الصَّلاَةَ وَمَنْ تَزَكَّى فَإِنَّمَا يَتَزَكَّى لِنَفْسِهِ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ. [فاطر : 18]

"Dan orang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. Dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lian) untuk memikul dosanya itu, tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun, meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan hanya orang0orang yang takut kepada azab Tuhanya (sekalipun) mereka tidak melihatNya. Dan barang siapa yang mensucikan dirinya, sesungguhnya ia mensucikan untuk dirinya sendiri. Dan kepada Allah lah kembali(mu)". (al-Fathir:18)

Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa seseorang tidak akan bisa menanggung dosa orang lain sedikitpun dan Allah tidak akan membebankan dosa orang lain itu kepada siapapun meskipun dia dari kerabat. Kemudian di dalam ayat yang lain Allah SWT juga berfirman:

وَلا تَكْسِبُ كُلُّ نَفْسٍ إِلا عَلَيْهَا وَلا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى. (الأنعام: 164)

"Dan tidaklah seorang membuat dosa melinkan kemudharatanya (dosanya) kembali kepada dirinya sendiri; dan seseorang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain". (QS' al-An'am: 164)

Ayat ini juga menerangkan bahwa seseorang yang mengerjakan dosa, maka ia telah mencelakakn dirinya sendiri dan tidak bisa mencelakakan orang lain.

Dua ayat Al-Qur'an di atas secara garis besar dan tegas menunjukkan pengertian bahwa siapapun mereka tidak akan dibebani menanggung dosa orang lain meskipun dosa orang tuanya. Lalu bagaimana dengan hadits Rasulullah SAW yang mengatakan keturunan pezina tidak akan masuk surga?. Untuk itulah mari kita tela'ah pendapat-pendapat para Sahabat Nabi dan Ulama tentang dilalah atau arahan hadits Rasulullah SAW tersebut.

Pendapat Para Sahabat Nabi dan Ulama

A'isyah r.a istri Rasulullah berpendapat berkenanan dengan keturunan orang zina; "Anak pezina tidak akan menanggung sedikitpun dosa yang dilakukan kedua orang tuanya. Hal ini berdasarkan firman Allah yang berbunyai: "Dan orang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain". (QS. Al-Fathir: 18). Juga dalam kesempatan yang lain A'isyah r.a pernah mendengar sabda Rasulullah SAW;

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "وَلَدُ الزِناَ شَرُ الثلاَثَةِ إِذاَ عَمِلَ بِعَمَلِ اَبَوَيْهِ". (رواه البيهقى)

Rasulullah SAW bersabda: "Anak orang zina adalah orang ketiga yang berbuat kejelekan jika ia juga melakukan perbuatan orang tuanya". (HR. Al-Baihaqy)[1]

Dalam hadits di atas Rasulullah SAW memberi sinyal bahwa, anak orang zina merupakan orang jelek ketiga setelah orang tuanya jika ia melakukan perbuatan zina seperti perbuatan orang tuanya. Mafhum mukhalafah (pengertian balik) dari hadits tersebut adalah, jika anak orang zina tidak melakukan perbuatan seperti perbuatan orang tuanya (tidak melakukan zina), maka dia tidak termasuk golongan orang jelek. Hadits dan pemahaman ini juga didukung oleh Ibnu Abbas dan Shofyan Ats-Tsaury, bahwa anak orang zina bisa masuk neraka jika ia juga melakukan perbuatan zina.[2] Demikianlah patutnya pengertian dari pada hadits yang disabdakan oleh Rasulullah SAW tersebut.

Sedangkan menurut Syekh Abu Hatim dalam memahami hadits penafian anak zina adalah, bahwa hadits yang mengatakan "tidak masuk surga anak keturunan pezina" hanya berlaku menurut keumumannya. Artinya, seorang anak menurut kebiasaan umum tidak akan jauh dari watak dan kelakuan orang tuanya. Seandainya orang tuanya pencuri, maka anaknya juga berpotensi menjadi pencuri, begitu juga jika orang tuanya sering melakukan perbuatan zina, maka anaknya kelak juga berpotensi melakukan perbuatan zina. Itu berarti tidak semua keturunan pezina bisa difonis akan masuk neraka dikarenakan perbuatan orang tuanya. Sebab seorang anak tidak akan menanggung sedikitpun dosa yang dilakukan orang tuanya. Apa lagi justru tidak sedikit dari mereka (keturunan anak zina) yang justru beriman dan beramal shalih.[3]

Syekh Ibnu Taimiyyah saat ditanya tentang anak keturunan zina, beliau juga memberi jawaban sama dengan pendapat di atas. Beliau berkata: "Anak keturunan zina jika beriman dan beramal shalih tetap akan masuk surga. Dan jika tidak beriman dan atau tidak beramal shalih, maka akan dibalas sesuai dengan perbuatanya seperti yang lainya. Pembalasan Allah itu menurut amal perbuatan manusia, bukan karena keturunannya. Sedangkan keturunan orang zina diremehkan, karena biasanya ia berpotensi melakukan perbuatan seperti orang tuanya. Padahal tidak semuanya demikian. Dan makhluk yang paling mulya dihadapan Allah adalah yang paling takwa di antara mereka".[4]

Fitrah (Kesucian) Setiap Manusia

Dari penjelasan beberapa pendapat Sahabat Nabi dan Ulama di atas, kiranya dapat ditangkap bahwa seorang anak sedikitpun tidak akan ikut menanggung dosa yang dilakukan orang tuanya. Dan seorang anak tidak akan dilahirkan dalam keadaan sudah berdosa karena memikul dosa orang tuanya. Hal ini berpedoman pada hadits Rasulullah SAW;

عن أبي هريرة، رضي الله عنه، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: "كُل مَوْلُوْدٍ يُوْلَدُ عَلَى اْلفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهُ يُهَوِّدَانَه وَيُنَصِّرَانَهُ وَيُمَجِّسَانَهُ" (رواه الشيخان فى صحيحيهما)

Diceritakan dari Abu Hurairah r.a, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fathrah (suci). Maka kedua orang tuanya-lah yang membuatnya Yahudi, dan Nasrani, dan Majusi". (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam Kitab Shahih Muslim juga terdapat hadits Kudsiy:

عن عِياض بن حمَار قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "يقول الله تعالى: إِنِي خَلَقْتُ عِبَادِي حُنَفَاءَ، فَجَاءَتْهُمُ الشَيَاطِيْنَ فَاجْتَالَتْهُمْ عَنْ دِيْنِهِمْ وَحَرَمَتْ عَلَيْهِمْ مَا أَحْلَلْتُ لَهُمْ". (رواه مسلم فى صحيحه)

Diceritakan dari Iyad bin Hammar, Rasulullah SAW bersabda: Allah SAW berkata: "Sesungguhnya telah Aku jadikan hamba-hambaKu dalam keadaan condong (ke dalam kebaikan/Islam). Kemudian datanglah syaitan-syaitan dan menyesatkan dari agama mereka dan mengharamkan hal yang telah Aku halalkan". (HR. Muslim)

Dari keterangan dua hadits di atas, dapat ditangkap bahwa status seorang anak pada dasarnya semua diciptakan dan dilahirkan dalam keadaan sempurna dan suci. Hal ini tidak memandang dari keturunan siapapun, bahkan dari keturunan orang non muslim sekalipun. Dalam sebuah hadits diceritakan bahwa pada saat peperangan, para sahabat juga membunuh anak-anak dari kaum musyrikin. Lalu Rasulullah SAW menegurnya dan mengeluarkan peringatan keras;

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: "لاَ تَقْتُلُوْا ذُرِيةً، لاَ تَقْتُلُوْا ذُرِيةً, كُلُ نَسِمُةٍ تُوْلَدُ عَلَى الْفِطْرَةِ، فَأَبَوَاهَا يَهُوْدَانَهَا أَوْ يُنَصِرَانَهَا". (رواه أحمد والنسائي)

Rasulullah bersabda: "Jangan kamu bunuh keturunan mereka (musyrikin)! Jangan kami bunuh keturunan mereka! Setiap anak dilahirkan dalam keadaan suci, sehingga kedua orang tuanyalah yang membuatnya Yahudi dan Nashrani". (HR. Ahmad dan An-Nasa'i)

Larangan Rasulullah SAW membunuh anak-anak kaum musyrik saat berperang merupakan perlindungan yang sempurna dan menyamakan mereka dengan anak-anak orang Islam yang pada dasarnya sama-sama diciptakan dan dilahirkan dalam keadaan fathrah/suci. Hal ini sebagaimana firman Allah dalam Surat Ar-Rum: 30:

فِطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا..)الروم: 30(

"(tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu". (Ar-Rum: 30)

Juga firman Allah dalam surat Al-A'raf ayat 172:

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنْ بَنِي آدَمَ مِنْ ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَى أَنْفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ قَالُوا بَلَى شَهِدْنَا. (الأعراف: 172)

"Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami) dan kami menjadi saksi". (QS. Al-A'raf: 172)

Itu berarti sebelum manusia lahir di muka bumi, mereka telah meng-Esakan Allah dan mengakuai Allah sebagai Tuhanya (fatrah). Hanya saja setelah mereka lahir dan menjalani kehidupan, mereka banyak yang tergoda dengan rayuan setan, sehingga ada yang beriman dan ada yang kafir (imma mu'minun wa imma kaafirun).

Dari beberapa uraian di atas, tentunya sangatlah tidak etis jika kita masih membeda-bedakan keturunan dan nasab, apa lagi membanggakan derajat orang tua. Cukup sudah bagi kita cerita tentang Nabi Nuh a.s, dimana putra beliau Kan'an adalah seorang yang sangat bertolak belakang. Bukan hanya tidak berkelakuan baik, namun juga tidak beriman kepada Allah SWT. Dan dalam kisah yang lain yaitu Nabi Ibrahim a.s, dimana beliau dilahirkan di lingkungan keluarga penyebah berhala. Namun pada kenyataanya Ibrahim tumbuh dengan keimanan di dada dan menjadi Nabi kekasih Allah SWT.

Namun sejauh itu, kita memang masih mengingat istilah pepatah; "Buah-buahan tidak akan jatuh jauh dari pohonya". Atau pepatah jawa yang lain: "wet kacang tukul melu lanjarane". Artinya secara kebiasaan dalam kehidupan bermasyarakat bahwa jika orang tuanya berkepribadian dan berkelakuan baik, maka biasanya anak cucunya juga berkelakuan baik. Dan jika orang tuanya berkelakuan jelek, maka biasanya keturunannya juga tidak jauh dari kelakuan orang tua. Inilah yang mendasari Rasulullah SAW mengatakan bahwa anak pezina tidak masuk surga. Artinya, jika anak tersebut mengikuti jejak orang tuanya dan tidak bertaubat sebelum meninggal. Selain itu, ancaman Rasulullah SAW sebagai bentuk peringatan keras bagi umatnya agar menjauhi perbuatan zina. Karena hal tersebut dapat berdampak pada kepribadian anak cucunya kelak.



[1]. Dalam Mujma' al Kabir li at-Tabrany juga terdapat hadits sama dari Ibnu Abbas r.a (9, 154)

[2]. Baihaqy Sunan al Kubra, Jilid: X, Hal: 58

[3]. Ibnu Hibban, Shahih Ibn Hibban, Jilid: 14, Hal: 267

[4]. Ibnu Taimiyyah, Fatawi al-Kubra, Jilid: VII, Hal: 151)

Read Users' Comments (1)komentar